Blogger Template by Blogcrowds and Blogger Styles

.

Tai Minya Nasionalisme Minahasa

Oleh M. Korengkeng

Kami memang berbeda. Berbeda, relatif terhadap bangsa-bangsa lain yang bersepakat bersatu dalam abstraksi Indonesia. Kami punya syarat-syarat keras dan lunak untuk disebut bangsa, nasion. Perhatikan tanah dan masyarakat kami. Lihat kepercayaan kami. Kalian niscaya mendapati perbedaan itu. Ada masa, putraputra kami bahkan menjadi tentara terbaik carteran maskapai kolonial. Ada waktu, sekolah dan siswa kami belasan kali lebih banyak dari Batavia – meski penduduk kami hanya seperlima kota yang kelak jadi ibukota negara itu. Pandang pula cara kami berpakaian, cara kami bertutur, cara kami makan, tindak-tanduk kami…

Saya mesti berhenti dengan daftar fakta-fakta terpilih ini. Melanjutkannya mestilah membuat Anda semakin sulit membedakan saya dengan pria jahat berkumis lucu yang mengagungkan keunggulan ras Aria itu, atau, pada kadar tertentu, dengan wakil presiden kita yang kadang terkesan “anti cina” itu.

Baiklah. Kekristenan yang dikenalkan kolonialisme membantu membentuk sukarela salah satu ke-esa-an kami. Kesatuan sebagai sebuah masyarakat terbayang, sebuah perceived community Andersonian. Pembaratan, yang juga dikenalkan kolonialisme, sempat menjadi inspirasi segelintir orang untuk mendorong tanah air kami menjadi Twaalf de Provincie, propinsi ke-12 Belanda. Pembaratan serupa pula yang menebalkan keputusan sebagian (besar) orang kami berpihak pada kekuasaan kolonial. Tahun 1829, saat perang Jawa menjelang kehabisan nafas, 800 orang kami direkrut untuk menghantam Diponegoro. Selanjutnya, ribuan putra-putra kami yang lain dijaring untuk memenangkan perang Aceh, membantu menancap kuku kolonial disana.

Sepah-sepah pembaratan itu sebagian masih berbekas hingga kini: buku-buku panduan wisata mengkategorikan restoran-restoran kami paling bersih; minggu pagi jalanjalan menuju gereja tak jauh beda dengan arena mode wewene-wewene Minahasa; kami biasa berekspresi; kami kosmopolit; elit kami gemar berpesta; kami mengomentari apa yang perlu diberi catatan; buta huruf di tanah kami paling rendah di republik ini; terma-terma semisal “binaut”, “maar”, atau “untersuk”, kami comot dari sumber asli tanpa banyak perubahan bunyi. Ada sisa-sisa bahwa kami bangsa para pendidik, para birokrat, para administrator, para klerkenproletariaat.

Tapi pembaratan itu sempat pula menumbuhkan tunas yang lain, seperti lahan padi ditumbuhi ilalang yang tak dikehendaki. Pemberontakan yang digelorakan kaum republiken Minahasa dalam KRIS (Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi) di kota-kota di Jawa melawan Belanda melemahkan tesis KNIL yang dilekatkan atas Tou Minahasa diatas. Munculnya gereja nasionalis KGPM (Karapatan Gereja Protestan Minahasa) menjadi antitesa dari GMIM (Gereja Masehi Injili Minahasa) yang dulu menjadi antek Belanda.

Hal lainnya, sempatkan pergi ke Gramedia Manado, ambil waktu mencari buku kecil bersampul komik berjudul “Perang Tondano”. Buku itu bercerita pemberontakan heroik petani Minahasa melawan tipu-muslihat VOC, ekonomi baru (kolonial) berdaya saing tinggi dan kerja-paksa berorientasi ekspor. Meski tak seluruh isi buku itu benar, imajinasi didalamnya, saya kira, mestinya membuat dia layak menempati rak buku disamping koleksi Harry Potter atau buku-buku “teologi beras”.

Sayang pembaratan itu, yang semestinya bergandengtangan dengan pencerahan, dengan hubunganhubungan masyarakat yang baru, rupanya saat ini tidak banyak menyisakan masyarakat Minahasa yang berani, yang berinisiatif, yang menghargai kerja, yang teguh dengan nilai-nilai liberal. Semoga saya tidak keliru, Orde Baru nyaris sepenuhnya meluluhlantakkan sisi, wajah, dan warisan baik pembaratan itu.

Lalu nasionalisme macam mana yang hendak kita bicarakan dari potong-potong kenyataan diatas? Atau, karena berbicara bangsa Minahasa, etno-nasionalisme yang bagaimana? Biasanya pertanyaan serupa ini sering diungkap gundah kala tidak ada putra Minahasa jadi menteri. Mungkin juga, pertanyaan itu muncul kembali penuh gereget ketika satu dua gereja dibakar atau saat harga cengkih jatuh. Hari-hari ini, barangkali ia terselip diantara lembaran-lembaran MoU – yang sangat “federalistik” itu – antara GAM dan Pemerintah RI.

Tema nasionalisme dan Minahasa membawa saya ke pertarungan teoritik yang ramai, seramai sabung ayam yang pura-pura digerebek di daerah-daerah Minahasa agar cukongnya menaikkan setoran. Ada petarung-petarung hebat di medan teori itu, meski tak semua jurus ampuh pun memadai memenangkan penjelasan utuh atas tema ini. Analis Marxis, misalnya. Dalam hal nasionalisme, penyatu lapis sosial bernama “kelas” barangkali bukanlah penjelas tunggal untuk mengurai representasi kepentingan yang bisa tumpang tindih atas nasion. Pemberontakan petani bersenjata berbendera PERMESTA di gununggunung Minahasa, misalnya, adalah lebih sulit diredam, dan terus berlangsung bertahun-tahun, bahkan ketika Manado sudah jatuh, dan pemimpin (opportunis?) mereka mengangkat bendera putih.

Pada tingkat tertentu, begitu analisa David Henley, harga diri sebagai bagian dari bangsa, nasion, Minahasa menjelaskan militansi petani tersebut. Perhatikanlah: sampai sekarangpun, terkait dengan “Minahasa”, dapat dimengerti mengapa anak-cucu petani-petani tersebut sangat bangga dengan warisan sejarah ini. Meski kesadaran heroik itu tidak jarang sering dimanipulasi oleh brigadebrigadean, walak-walak (jadi-jadian) atau oleh elit-elitan, yang gemar makan untung serta merugikan collective interest petani Minahasa secara tak langsung.

Kendatipun begitu, baik para pendekar Weberian atau lulusan perguruan post-modern mestilah tak segera petantang-petenteng melancarkan jurus-jurus keutamaan partikularitas. Kekhususan suku sebagai contoh. Salah satu cara mengujinya: Bagaimana menjelaskan intelektual sewaan (asal) Minahasa yang berselubung “ilmuwan” mampu berkomplot dengan birokrat dan koruptor (asal) Jawa untuk melogamberati laut Minahasa di Buyat? Atau birokrat Minahasa yang bersama-sama makelar (asal) Jawa membenarkan penentuan nilai air PDAM Manado mengemis budi baik mekanisme pasar? Dalam aliansi tidak suci ini, menyeruak bentuk-bentuk lintas suku.

Di lain waktu, diajukan tema nasionalisme lalu mencoba mempertautkannya dengan Minahasa, pikiran saya malah melayang pada Sangihe dan Talaud. Pada “imperialisme” Minahasa atas kawasan ini sejak Landstreek van Manado diteguhkan. Lalu, pada disain spasial bernama KAPET Manado-Bitung yang meneguhkan keterbelakangan relatif SaTal melulu sebagai pinggiran. Terus, pada teguhnya kebiasaan korupsi lebih dari 50 persen dana pengembangan SaTal (oleh birokrat Minahasa di Manado). Rupanya, eksploitasi tidak hanya mengambil bentuk pusat-daerah, jawa-luar jawa, kawasan barat-timur atau penggolongan-penggolongan membosankan itu. Berdiskusi nasionalisme Minahasa, penting memperhatikan aspek yang sering pura-pura dilupakan ini.

Yang hampir pasti adalah bahwa Minahasa detik ini adalah Minahasa yang menyejarah. Satu bentuk entitas kompleks yang meruang dan mewaktu. Begitu pula kesadaran atas “nasion”nya, atas nasionalismenya. Ia antara lain menyaksikan – dan turut dibentuk – oleh perang antar walak memperebutkan kapling-kapling sumberdaya, eksploitasi di bawah kolonialisme, wacana etno-nasionalisme plintatplintut ala Sam Ratulangi, muslihat internasionalisme palsu elit-elit PKI, tipu daya petinggi angkatan darat berselubung pembangunan daerah PERMESTA, konsepsi kurang beres negara unitarian Suharto. Yang paling mutakhir, Minahasa mungkin cermin dari konstruk desentralisasi-pasar dan Otda neoliberal yang digadang Bank Dunia dan IMF.

Musti banakal sadiki

Bisa dipahami bila Tou Minahasa kecewa dengan kekinian kondisi Minahasa – ekonomi, politik, sosial-budaya. Kecewa dengan pencapaian-pencapaian luar biasa yang kemudian hilang itu. Juga, yang tak kalah penting, kecewa sekaligus kesal dengan persatuan sukarela dan kesepakatan-kesepakatan berbangsa yang lalu sekarang dikhianati. Saya akan ambil satu dari sekian banyak sisi diskusi tentang kekecewaan itu. Kiranya jelas bagi siapapun, terkait Nasionalisme Minahasa, jawaban atas kekecewaan itu tidak pernah diberi gratis diatas nampan perak. Seperti hal lain di bawah kolong langit, ia membutuhkan kerja keras – hal mana mungkin makin langka di Minahasa. Juga, keteguhan usaha menemukan terus “persoalan utama” Minahasa termasuk siapa-siapa yang mampu bekerja dalam, dan setia untuk, pencarian jawaban itu.

“Pada saat-saat ia menemukan bentuk, nasionalisme Minahasa diartikulasi oleh pelayan gereja dan negara”, demikian David Henley (1996) menulis salah satu pokok disertasinya, “tidaklah pernah [artikulasi tersebut] oleh sebuah gerakan massa atau instrumen penting dari mobilisasi politis”.

Perihal (yang diangkat) Henley ini penting untuk setidaknya memberi terang mengapa, misalnya, saat melakukan paparan pada pertemuan INFID di Tomohon 2 tahun lalu, Bert Adrian Supit, tetua Ornop Sulut itu, berakhir kebingungan mengejar ekor mimpi federalismenya sendiri. Ia berguna pula untuk keperluan diskusi mengapa ketika democratic space dibuka sedikit, “otonomi” daerah menghasilkan pembelahanpembelahan, beranak pinak wilayah-wilayah politis secara tak karuan membonceng libido elit dan parasit baru (dengan fam-fam asli Minahasa).

“Torang musti banakal sadiki kwa!”, usul seorang analis (asal) Minahasa di sela-sela rehat minum teh sebuah seminar tentang pelabuhan internasional Bitung. “Lia jo Aceh, biar nda war-war mo jadi pelabuhan internasional, mar Sabang bole dapa. Sementara Bitung apa…?”, lanjutnya dengan suara pelan, nyaris berbisik, khawatir terdengar.

Saya menangkap maksud baik dia: Sudah waktunya Minahasa menaikkan daya tawarnya.

Kaum muda, generasi baru

Minahasa harus “merdeka”! Secara ekonomi, politik, sosial, budaya, ekologi! Sesegera pekik itu berakhir, realitas lantas menyuguhkan paket kerja keras untuk digumuli. Siapa yang berani menerima tawaran ini? Menggumuli pilihan bekerja keras?

Benar. Barangsiapa yang akrab dengan dinamika politik Sulawesi Utara mungkin sepakat bahwa pergumulan itu terlampau berat untuk dipikul para alumnus GOLKAR atau mereka yang pernah magang atau terinspirasi tingkah dan laku oportunis aparatus politik ini. Ada yang sepakat bahwa tugas itu akan jauh lebih enteng andai diemban kaum muda Minahasa.

Kaum muda Minahasa macam mana?

Generasi baru yang menikmati membaca dan menghargai ilmu. Mereka berpikir bebas. Satu tindak dan tuturnya. Tidak korup. Karena diri bukan untuk digadai, mereka teguh atas pilihan-pilihannya, atas kata-katanya, sebagaimana laki-laki Minahasa dulu bertarung. Bukan cuma gelisah dengan jamannya, anak-anak muda itu mau mengorganisir diri dan menyingsing lengan baju, bekerja keras. Mereka tidak hanya bekerja di bawah alternatif tersedia, tapi selalu melihat celah menciptakan alternatif baru.

Pada penulis, seorang tamang yang kecewa pernah membuang beberapa penggal kalimat berikut: “…apa yang bisa diharap dari anak-anak muda [Minahasa] itu. Cuma ikoiko, iyo-iyo, seperti kumpulan ternak”. Siapapun yang marah dengar kalimat itu, tentu bukanlah ternak.

Putus asa bukanlah absolut. Tapi marah juga belumlah cukup. Sidang pembaca Nga´asan yang terhormat, saya melihat tamang itu secara mendua. Pertama ia keliru. Atau, tidak sepenuhnya tepat. Dalam rentang 5 tahun pasca-Suharto, Minahasa menyaksikan kemunculan anak-anak mudanya yang bukan cuma memiliki kapasitas analitik yang baik, juga keberanian mengambil pilihan berbeda dibanding sebayanya – Sandra Rondonuwu di UKIT, atau Nadya Sumampow dan Freddy Wowor di UNSRAT, juga Andre Mongdong di UNIMA, untuk menyebut beberapa wakil terbaiknya. Anak-anak muda ini tentu tidak sepenuhnya benar, tapi gairah yang mereka miliki mungkin mampu memindahkan gunung Klabat.

Sayang, seiring waktu, generasi anak-anak muda itu hilang ditelan angin. Tapi, disini tetap satu hal bisa kita simpul: dari ketidakpedulian separah Minahasa ternyata mampu memunculkan orang-orang muda ini, bukan hanya siklus reproduksi orang-orang bebal. Sebagaimana juga kolonialisme telah melahirkan anak-anak tak dikehendaki itu – Sukarno, Sjahrir, Hatta, Tan Malaka atau Ratulangi sendiri.

Kedua, pernyataan tamang itu bisa jadi benar. Diantara kerumunan mimpi menjadi PNS, hiruk-pikuk Nyong-Noni Sulut, atau kedangkalan fantasi telenovela dan Indonesian Idol, kerja menyisir pemuda-pemudi semacam mereka adalah serumit menelisik jarum di tumpukan jerami.

Pada akhirnya, Minahasa tanah tercinta itu (meminjam ekspresi subversif Graafland) bisa berdaulat lalu jadi “besar” dan berdiri setara atau menjadi tak lebih dari sekadar titik di utara Celebes, tanpa peran apa-apa.

Tai minya? Ini perihal memilih. Dan bekerja.


- Diambil dari "Tai minya (etno) nasionalisme Minahasa", Jurnal Nga'asan, nomor 3, September 2005.

0 komentar:

Posting Lama Beranda