Blogger Template by Blogcrowds and Blogger Styles

.

Minahasa dalam Dialektika

Oleh Denni Pinontoan

Minahasa, Tou dan Tanah Adatnya, ternyata tidak harus dilihat sebagai sesuatu yang statis. Ia dinamis menantang dan merespon zaman. Telah banyak fase zaman yang ia lalui. Zaman kunonya, yang oleh bangsa Barat sebut sebagai bangsa alifuru, telah meninggalkan identitas ke-Minahasa-an dalam ke-Indonesia-an. Meski, banyak di antaranya yang kini tinggal spirit serta situs-situs peradaban, misalnya waruga, rumah panggung, juga keseniannya, maengket, cakalele, mazani dan musik bambu. Spiritnya, yaitu egaliter, demokratis dan mapalus. Mulai kapan hal-hal itu menjadi ciri Minahasa, kita tidak tahu.

Fase zaman yang kemudian adalah ketika kekristenan dan peradaban Barat masuk dalam waktu yang bersamaan. Di satu pihak, perjumpaan antara ke-Minahasa-an dan kekristenan yang kebarat-baratan itu telah membawa sejumlah kemajuan, misalnya melalui dibangunya sekolah-sekolah untuk Tou Minahasa juga sejumlah nilai kekristenan yang membawa banyak pengaruh positif bagi kehidupan Tou Minahasa. Meski harus jujur diakui, bahwa, karena perjumpaan itu, banyak nilai serta spirit Tou Minahasa yang harus bergeser.

Minahasa dalam Indonesia adalah faze zaman berikut. Sebagai sebuah bangsa, Minahasa dengan kerelaannya juga karena kesamaan nasib dengan bangsa-bangsa lain di Nusantara, akhirnya telah turut memberikan kontribusi yang luar biasa besarnya bagi lahirnya sebuah negara berdaulat yang bernama Indonesia. Dan sejak Pancasila dan UUD 1945 ditetapkan sebagai dasar hukum di Indonesia, Minahasa akhirnya menjadi bagian dari negara Indonesia yang siap tunduk dan mengikuti segala aturan, hukum dan perundang-undangan Indonesia. Jika demikian, mestinya Minahasa, tidak harus dinilai kurang sahnya sebagai pemilik negara ini dibanding bangsa-bangsa yang lain. Paham kebangsaan Minahasa terhadap ke-Indonesia-an harus dilihat sebagai bentuk pengabdian Tou dan Tanah Adatnya terhadap Negara Indonesia dengan syarat bahwa Minahasa mempunyai identitasnya sendiri yang tidak harus dicampur baur dengan bangsa yang lain di Indonesia. Prinsip Bhineka Tunggal Ika, bahkan ikut mensahkan syarat itu. Sehingga mestinya, negara ini juga harus mempertimbangkan itu dalam menjalankan sistem pemerintahannya, khususnya soal bagaimana memberlakukan desentralisasi kekuasaan.

Minahasa dalam Indonesia sebenarnya juga masih terbagi pada sejumlah sub fase zaman, misalnya zaman Orde Lama, pergolakan Permesta, Orde Baru dengan rezim Soeharto yang berkuasa kurang lebih 32 tahun dan zaman reformasi. Sub-sub fase zaman ini, barangkali telah membawa Minahasa dalam suatu dilema kebudayaan. Tapi, karena zaman memang sejatinya bergerak, maka dalam banyak hal Minahasa sebenarnya telah menjalankan kodratnya untuk berdialektika dengan “kebaikan” dan banyak juga dengan “kekonyolan”, serta “kegilaan” zaman.

Persoalan kemudian ketika terjadi perjumpaan dengan proses zaman yang terkadang ganas dan liar, adalah soal menentukan mana yang disebut Budaya Minahasa dan mana yang tidak. Apakah, budaya Minahasa harus ditarik dari zaman Minahasa kuno dengan segala ritual dan spiritnya atau Minahasa kontemporer (sekarang) yang merupakan hasil dialektika dengan zaman yang terus berproses itu? Zaman yang dimaksud, tentu soal peristiwa, ruang dan waktu, juga terutama nilai/spirit?

Menurut saya, inilah dilema kita. Ini menjadi dilema, karena di satu pihak yang kita sebut budaya hanyalah adat istiadat, sistem sosial, politik, ekonomi dan kepercayaan, spirit, komunikasi dan lain-lain di masa lampau, di pihak lain, budaya mestinya diartikan sebagai sistem nilai yang dinamis. Ia dihasilkan oleh manusia dalam suatu kontemplasi dan refleksi juga interaksi dengan persoalan, pergumulan dan kebutuhan konteks. Budaya, adalah sistem nilai, yang kemudian mendasari sistem sosial, politik, ekonomi dan kepercayaan juga komunikasi. Ia kemudian antara lain tampak dalam banyak simbol. Dan mestinya nilai lebih dulu ada dari simbol.

Batasan saya tentang yang disebut budaya adalah seperti itu. Memang, sampai saat ini telah begitu banyak definisi yang dibuat orang tentang budaya itu. Sebut saja, definisi menurut EB Taylor yang menyatakan bahwa budaya adalah keseluruhan hal yang kompleks termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat (Mu'adz D'Fahmi, “’Cultural Studies’ sebagai Praktik Intelektual” dalam Kompas, 19 Oktober 2002).

Sementara menurut Clifford Geertz, budaya hanyalah serangkaian cerita mengenai diri kita yang kita ceritakan pada diri kita sendiri. Sedangkan Raymond Williams, salah satu bapak pendiri cultural studies, mengatakan, bahwa budaya meliputi organisasi produksi, struktur keluarga, struktur lembaga yang mengekspresikan atau mengatur hubungan sosial, bentuk-bentuk komunikasi khas anggota masyarakat (Mu'adz D'Fahmi).

Dari definisi-definisi itu kita tidak menemukan adanya kata “masa lampau” sebagai acuan waktu dari sebuah budaya. Sebaliknya, juga tidak menyebut kekinian sebagai acuan waktunya. Barangkali, budaya adalah dialetika antara nilai dan spirit, sedikit dengan simbol masa lampau dengan kekinian dengan segala persoalan, pergumulan dan kebutuhan manusianya. Dengan demikian, zaman lampau harus dilihat sebagai sebuah proses, yang fungsinya antara lain memberi batasan pada sebuah bangsa. Karena ia dilihat sebagai sebuah proses, maka zaman lampau tidak harus kemudian menutup diri atau berdiam diri dengan kodrat waktu. Waktu telah dikodratkan untuk terus bergerak. Sehingga, masa lampau suatu bangsa dengan segala nilai, spirit dan hasil-hasil peradabannya akhirnya harus berdialektika dengan proses zaman yang kemudian. Kita tidak mempunyai data yang akurat, siapa penghuni tanah Minahasa sebelum didiami oleh Toar dan Lumimuut dan keturunannya. Kita juga tidak tahu dengan jelas, sebelum memakai waruga, tonaas-tonaas atau leluhur kita dikubur dengan cara seperti itu. Atau sejak kapan tarian maengket menjadi tarian khas Minahasa. Atau, aslinya cakalele seperti apa. Artinya, masa lampau orang Minahasa yang sempat dicatat ternyata masih ada masa yang lebih lampau lagi. Dan bila dirunut ke belakang lagi, dunia ini barangkali memang begitu. Kita tidak bisa menentukan sampai di mana kelampauan dunia kita, sama halnya ketidakmungkinan kita menentukan keakanan dunia ini.

Kalau budaya adalah soal masa lampau, terutama spirit dan nilainya, masa sekarang dengan segala pergumulan, persoalan dan dan kebutuhannnya dan masa depan dengan segala harapan kehidupannya, maka Minahasa adalah sebuah spirit, nilai yang dinamis bersyarat. Syaratnya, bahwa Minahasa, Tou dan Tanah Adatnya dalam prosesnya yang dinamis itu tak harus menjadi relatif dengan segala tawaran zaman yang menggoda. Minahasa, harus berdiri sama tegak dan sama besar dengan yang lain meski dalam usaha itu, Minahasa tidak harus bernostalgia sampai harus terlena dengan masa lampau. Minahasa bukan cuma soal waruga, cakalele, maengket, atau siapa yang asli Minahasa dan bukan. Atau lebih tepatnya, Minahasa tidak sama dengan masa lampau, tidak dengan masa sekarang dan juga bukan masa depan. Juga, Minahasa tidak sama dengan Kristen. Minahasa adalah dialetika antara masa lampau dengan masa sekarang untuk masa depan. Dan dialektika bukanlah perjuangan penundukkan, dominasi juga bukan kompromi, melainkan usaha dasar nalar dan jiwa dalam ruang dan waktu (sejarah) manusia untuk perbaikan, peningkatan dan perkembangan kualitas dan kuantitas hidup. Sehingga, kerja intepretasi dan dekonstruksi terhadap nilai dan spirit masa lampau juga untuk sebuah konstruksi Minahasa masa depan adalah penting untuk usaha meminahasakan kembali Tou dan Tanah Minahasa. Dengan demikian, barangkali kita sedang melakukan aufklarung ala kita.


Tomohon, 1 Mei 2006
Tulisan ini pernah dipubliksikan pada Harian Komentar 14 September 2006 dan menjadi salah satu artikel dalam Denni Pinontoan, “Minahasa dalam Indonesia”, (Tomohon: Pasini, 2007)

0 komentar:

Posting Lebih Baru Beranda